Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Materi Hukum Pidana : Pengertian, Pembagian, Tujuan, Ruang Lingkup

Daftar Isi [Tampil]

Dalam kesempatan ini, SatuHukum akan menjabarkan sebuah materi hukum pidana, mulai dari pengertiannya, pembagiannya, tujuan, sifat, tujuan & fungsi, sumber, subjek dan ruang lingkupnya secara lengkap dan jelas.

Pengertian, Pembagian, Sifat, Tujuan dan Fungsi, Sumber, Subjek, Ruang Lingkup Hukum Pidana


Pengertian

Agar kita memahami apa itu hukum pidana, kita dapat melihat para ahli mendefenisikan hukum pidana itu sendiri.

Menurut Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.

Menurut WFC Van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman

Menurut Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut


Setelah kita paham pengertiannya, sekarang kita masuk ke materi selanjutnya. Ternyata hukum pidana itu dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian. Berikut ini penjelasannya.


Pembagian Hukum Pidana

Pembagian Hukum Pidana
Pembagian Hukum Pidana

Hukum pidana dapat dibagi menjadi 7 bagian besar, yakni sebagai berikut :

#1 Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil

Hukum pidana materiil adalah semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan :
  • perbuatan-perbuatan yang merupakan perbuatan yang dapat dihukum
  • siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan-perbuatan tersebtu
  • Hukuman/sanksi yang seperti apa yang dapat dijatuhi terhadap orang tersebut.
Hukum pidana materiil disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
Hukum ini terdapat di dalam KUHP maupun ketentuan-ketentuan hukum pidana yang tersebar di luar KUHP.

Hukum Pidana Formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak tersebut harus diberlakukan secara konkrit, atau hukum yang menegakkan/mempertahankan hukum pidana materiil.
Dengan kata lain yaitu sejumlah peraturan yang memuat bagaimana cara-cara negara menjalankan haknya untuk menjatuhkan/melaksanakan hukuman.
Biasanya hukum ini disebut hukum acara pidana.

#2 Hukum Pidana dalam arti Objektif dan Subjektif

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku (hukum positif - ius poenale).
Disebut objekktif karena ukuran yang digunakan adalah isi dari peraturan itu sendiri.
Simons membuat rumusannya sebagai berikut :
  1. Keseluruhan larangan dan perintah  yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana bila tidak ditaati
  2. Keseluruhan peraturan yang menetapkam syarat-syarat unuk penjatuhan pidana
  3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penetapan pidana

Hukum pidana dalam arti subjektif (ius pinuendi) yang dapat diartikan secara :
1. Arti Luas
Adalah hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap suatu perbuatan tertentu
2. Arti Sempit
Adalah hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh lembaga peradilan.


#3 Hukum Pidana yang Dikodifikasi dan Tidak Dikodifikasi

Hukum Pidana Dikodifikasi artinya disatukan dalam sebuah satu-kesatuan yang besar sehingga tidak tersebar dimana-mana. Contohnya : KUHP, KUHP Militer, KUHAP

Hukum Pidana Tidak Dikodifikasi adalah ketentuan pidana yang mengandung sanksi pidana namun tersebar keberbagai peraturan perundang-undangan.
Misalnya : UU Tipikor, UU Pencucian Uang, UU Perdagangan Orang


#4 Hukum Pidana Bagian Umum dan Bagian Khusus

Hukum Pidana Bagian Umum (algemene deel) memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur dalam buku I KUHP yang mengatur ketentuan umum.

Hukum Pidana Bagian Khusus (bijzonder deel) adalah yang memuat atau mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.


#5 Hukum Pidana Umum dan Khusus

Hukum Pidana Umum adalah yang sengaja telah dibentuk dan diberlakukan bagi setiap orang (untuk umum).

Hukum Pidana Khusus adalah yang sengaja diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja, misalnya bagi anggota angkatan bersenjata (TNI), atau hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu misalnya tindak pidana fiskal (terkait ekonomi).


#6 Hukum Pidana Tertulis dan Tidak Tertulis

Hukum Pidana Tertulis : sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 1 KUHP
Tidak tertulis : Contohnya hukum adat.

Hukum Pidana Nasional dan Lokal

Pidana Nasional (algemeen strafrecht) atau tindak pidana biasa, atau tindak pidana umum, adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintah negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan melanggar larangan hukum pidana diseluruh wilayah hukum negara.

Pidana Lokal (plaatselijk) adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut.
Hukum pidana lokal dapat kita temui di dalam Peraturan Daerah (Perda).

Jika hukum nasional sudah hadir, maka hukum lokal yang berlaku sebelumnya secara otomatis dicabut, dan yang berlaku hanya tingkat nasional saja.




Sifat Hukum Pidana

Hukum pidana sendiri merupakan salah satu hukum publik.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (orang banyak).

Ketika sifat hukum publik dihubungkan dengan hukum pidana, maka muncullah ciri-ciri hukum publik yakni sebagai berikut :
  • Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan
  • Kedudukan penguasa negara lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan kata lain orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa
  • Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya negara/penguasa wajib menuntut orang tersebut
  • Hak Subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana objektif atau hukum pidana positif. 


Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana

Hukum Pidana diciptakan tentunya punya tujuan dan fungsi tertentu.

Menurut Tirtaamidjaya, maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat/

Secara Umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.


Ada 2 aliran yang berpendapat terkait tujuan hukum pidana :

1. Aliran Klasik

Menurut aliran ini, tujuannya adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (negara).
Peletak dasar dari airan ini adalah Markies van Beccaria.
Dalam tulisannya, ia menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang yang tertulis.

Pada zaman sebelum adanya tulisan Beccaria itu, hukum pidana sebagian besar tidak tertulis, kekuasaan raja sangat mutlak (absolut), bisa membuat pengadilan dengan sewenang-wenang dengan menetapkan hukum berdasarkan perasaan hakimnya.
Penduduk tidak tahu pasti mana perbuatan yang dilarang, dan beratnya ancaman pidana karena hukumnya sendiri tidak tertulis.

2. Aliran Modern

Menurut aliran ini, tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.
Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan hukum pidana haruslah memperhatikan kejahatan dan keadaan penjahatnya.

Kriminologi yang punya objek penelitian mulai dari tingkah laku perseorangan atau atau masyarakat adalah salah satu ilmu yang memperkaya olmu pengetahuan hukum pidana.

Pengaruh kriminologi sebagai bagian social science menimbulkan aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar kepentingan hukum masyarakat terlindungi.

Perbedaan signifikan antara 2 aliran ini adalah :
Aliran Klasik = dari tak tertulis menjadi tertulis.
Aliran Modern = Tidak melihat perbuatan saja, tapi orang yang melakukannya juga.


Menurut Soedarto, fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2:

1. Fungsi Umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh sebab itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pidana pada umumnya, yaitu mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat

2. Fungsi Khusus

Dalam sanksi pidana ada sebuah tragic, sehingga hukum pidana dikatakan "mengiris dagingnya sendiri" atau "pedang bermata dua" yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum, namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan justru menyakiti kepentingan (benda) hukum si pelanggar.

Dapat dikatakan bahwa hukum pidnaa itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat. Dalam hal itu perlu diingat pula bahwa sebagai alat social control fungsi hukum adalah subsidair, artinya hukum pidana hendaknya baru dilaksanakan apabila usaha-usaha lain kurang memadai.



Sumber Hukum Pidana

Menurut pendapat Soedarto, sumber hukum pidana antara lain :

1. Hukum Tertulis

Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis, yang induknya adalah KUHP (KUHP sendiri berasal dari W.v.S nya Belanda).

2. Hukum Pidana Adat

Hukum adat masih menjadi sumber hukum di negeri ini, berdasarkan UU Darurat No.1 Tahun 1951

3. Memorie van Toelichting (M.v.T)

M.v.T adalah penjelasan dari W.v.S, dimana W.v.S itulah yang menjadi KUHP yang berlaku di Indonesia.


Subjek Hukum Pidana

Yang menjadi Subjek hukum dalam pidana adalah manusia dan korporasi.

1. Manusia (Natural Person)

Melihat sejarah, KUHP nya Prancislah yang melahirkan KUHP Belanda, dan yang punya Belanda itulah yang berlaku di Indonesia, hal itu disebabkan karena asas konkordansi, yang mana hukum di negara penjajah berlaku di negara jajahannya.

Menurut KUHP, yang menjadi subjek hukum pidana adalah manusia (natuurlijke persoon).
Hal ini dapat disimpulkan dari:
Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah 
  • "barang siapa"
  • "warga negara Indonesia"
  • "nahkoda"
  • "pegawai negeri"
  • dan lain-lain
Penggunaan istilah-istilah tersebut selain yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersakungkan juga dapat ditemukan dasarnya pada pasal 2-9 KUHP.
Untuk istilah "barangsiapa" dalam pasal 2, 3, dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder yang terjemahannya berarti "setiap orang".

2. Korporasi 

Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum.

Korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungnan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation).

Dengan dianutnya paham bahwasanya korporasi adalah subjek hukum pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility).



Ruang Lingkup

Ruang lingkup berlakunya hukum pidana dibagi atas 2 bagian yakni :

1. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu

Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu

Melihat berlakunya hukum pidana berdasarkan waktu, maka melibatkan asas legalitas, analogi, dan asas non retroaktif. Berikut penjelasannya.

A. Asas Legalitas

Pasal 1 KUHP:
Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali oleh kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan/terjadi.
Asas ini juga disebut "Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali"

Terkait pembasan ini, ada kaitannya dengan :

Dekriminalisasi : dahulu tindak pidana, sekarang tidak lagi.
Kriminalisasi : membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana

Masalah tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu mempunyai arti yang penting bagi : penentuan saat kapan terjadinya suatu perbuatan pidana (lex temporis delict).

1. Pentingnya Tempus Delicti
Tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu tindak pidana. Hal ini penting karena :
  • Untuk menentuka hukum apa yang berlaku atau dipergunakan atas terjadinya suatu peristiwa pidana 
  • Menentukan usia pelaku. Misalnya pelaku tindak pidana yang masih berusia "anak-anak" akan diadili di peradilan anak
  • Tentang Daluarsa
  • Residis (pengulangan tindak pidana)
  • Leadaan mampu bertanggungjawab saat dilakukannya tindak pidana
  • Waktu dilakukkannya. Misalnya, pencurian di malam hari mendapat ancaman yang lebih berat.
2. Pendapat Sarjana tentang Asas Legalitas
Utrect keberatan dengan dianurnya asas ini di Indonesia. 
Alasannya adalah karena banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas ini.

Andi Hamzah juga merasakan dilema, karena tidak dimungkinkannya dikodifikasi seluruh perbedaan adat di pelbagai suku bangsa. 
Tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap HAM perlakukan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dari hakim, diperlakukan juga adanya asas ini.


3. Pergeseran Asas Legalitas
Asas legalitas ini pada dasarnya tidak lagi dianut secara ketat.
Asas ini telah mengalami pergeseran, meskipun pada dasarnya asas ini untuk melindungi kepentingan individu dan HAM dari kesewenang-wenangan penguasa, namun demi kepentingan yang lebih luas, seperti untuk menjaga/melindungi kepentingan masyarakat, dan melindungi masyarakat dari kejahatan, maka dalam hal tertentu asas ini dapat dikesampingkan.

Hal ini dapat dilihat dengan diakuinya eksistensi dari pidana yang hidup di dalam masyarakat.


B. Analogi

Suatu ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku karena adanya penafsiran analogi.

Penafsiran analogi dilakukan dengan memberlakukan suatu ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai suatu hal terhadap suatu hal yang tidak diatur secara tegas dengan cara menganalogikannya (mengganggapnya sama).

Mengenai penafsiran analogi ini, menurut beberapa sarjana tidak boleh dilakukan apabila dengan analogi tersebut dapat menciptakan delik-delik baru sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Moljatno menolak analogi, namun mengakui adanya interpretasi/penafsiran ekstensif.
Tafsiran ekstensif masih berpegang kepada aturan yang ada. 
Dalam tafsiran ini, ada perkataan yang diberi arti sesuai dengan makna yang hidup di dalam masyarakat saat ini, jadi perkataan tersebut tidak diartikan lagi menurut maknanya pada waktu UU dibentuk.


C. Asas Non Retroaktif

Arti dari asas ini adalah tidak berlaku surut.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya perbuatan seseorang harus diadili menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan itu dilakukan (lex temporis delicti)

Asas lex temporis delicti diadakan pembatasan, dalam arti bahwa asas tersebut tidak berlaku jika ada perubahan dalam perundangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum perkara diadili.
Dalam hal seperti ini, yang dipakai untuk mengadili adalah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Pasal 1 ayat (2) KUHP
Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah saat melakukan perbuatan, maka digunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa.


2. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

Mengenai ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat, ada beberapa hal penting untuk diketahui
  1. Sampai dimana berlakunya hukum pidana suatu negara
  2. Hak suatu negara untuk menuntut suatu perbuatan seseorang yang merupakan kejahatan/pelanggaran.
Asas yang terkait :
  • Asas teritorial
  • Asas personal atau asas nasionalitas aktif
  • Asas perlindungan atau asas nasionalitas pasif
  • Asas universal


Asas teritorial (asas wilayah)
Asas ini diatur dalam pasal 2 KUHP.
Pasal 2 KUHP : 
Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap-tiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia
Asas ini juga diperluas di dalam pasal 3 KUHP

Teori-Teori Locus Delicti

Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang masalah tempat tindak pidana (locus delicti) ini, oleh karena itu teori tentang tempat delik dilakukan menjadi sangat penting dalam upaya memecahkan persoalan tentang tempat tindak pidana/delik ini.

Tidak ada teori yang dapat berlaku untuk semua kejadian, melainkan diselesaikan secara kasuistis.

Berikut beberapa teori yang mengatur tempat tindak pidana atau delik :

1. Teori Tindakan Badaniah
Untuk menentukan tempat kejadian, fokusnya adalah tempat dimana pelaku ketika melakukan tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana yang sudah sempurna.


2. Teori Alat
Salah satu contoh yang terkenal adalah penerapan hukum pidana di Belanda mengenai asas teritorialitas.
Contoh :
A yang berada di Jerman melemparkan seutas tali yang bersimpul bulatan di ujungnya (leso) dengan tujuan menjerat seekor kuda yang berada di dalam negeri Belanda.
Kemudian kuda tersebut ditarik ke wilayah Jerman dengan maksud untuk memilikinya.
Dalam hal tersebut, tindak pidana dianggap telah terjadi di negeri Belanda,dan kepada pelaku diberlakukan ketentuan pidana Belanda.


3. Teori Akibat
Menurut teori ini, yang harus dianggap sebagai tempat tindak pidana adalah tempat dimana tindak pidana (delik) itu menimbulkan akibat.

Satochid Kartanegara memberikan sebuah contoh :
Jika seseorang yang berada di Singapura mengirimkan makanan yang beracun kepada seseorang yang berada di Indonesia, dimana makanan tersebut menyebabkan kematian si penerima, maka yang harus dianggap sebagi tmpat terjadinya kejahatan adalah Indonesia.


4. Teori Berbagai Tempat Tindak Pidana
Teori ini adalah gabungan dari 2 atau 3 teori diatas.
Teori seperti ini sangat berguna di negara yang luas dan perhubungan/pengangkutannya masih sulit seperti di Indonesia, apalagi daerah pedalaman.

Penggunaan teori ini dibutukan terutama dalam hal-ha terjadi penghinaan dengan alat tulisan atau pun radio amatir jarak jauh.
Contoh:
A melalui penulisan di Koran Jakarta menghina B yang berada di Palangkaraya, koran tersebut juga beredar di Palangkaraya.
Tempat tindak pidana dapat dianggap di Jakarta maupun di tempat lainnya dimana koran tersebut beredar. Dengan demikian apabila misalnya A dan B bertempat tinggal sementara di Bandung setelah perbuatan itu, B dapat saja mengadu kepada penguasa di Bandung untuk diselesaikan perkara tersebut secara justisiil.

Pasal 3 KUHP memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandaan kendaaran air (vaartuig) dan juga pesawat yang masih berada diwilayah NKRI.
Awalnya belum ada kapal udara, setelah keluar UU No.4 Tahun 1976, pasal 3 tersebut berubah menjadi :
Pasal 3 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaaran air atau pesawat udara Indonesia.

Penutup

Demikianlah materi hukum pidana kali ini, semoga membawa manfaat bagi pembaca SatuHukum.com
Terimakasih.
SatuHukum.com
SatuHukum.com Menyederhanakan dunia hukum agar menjadi pengetahuan bagi setiap orang dari semua kalangan

Posting Komentar untuk "Materi Hukum Pidana : Pengertian, Pembagian, Tujuan, Ruang Lingkup"